Kasus penyadapan Australia terhadap Indonesia sudah berjalan beberapa
pekan sejak harian Sydney Morning Herald membeberkannya pada 31 Oktober
2013. Dalam periode itu, Perdana Menteri Australia Tony Abbot sudah
berkata tegas tidak akan meminta maaf, meskipun menyesal atas kasus itu,
di hadapan parlemen. Padahal pemimpin oposisi Bill Shorten mendesak
Tony untuk meminta maaf.
Sebaliknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam periode yang sama
masih menunjukkan sikap yang lembek, seperti biasanya. Presiden hanya
baru mampu protes lewat media sosial dan menyuruh Menteri Luar Negeri
Marty Natalegawa untuk mewakilinya bicara di depan publik.
Untungnya, Marty mengatakan bakal terus menurunkan derajat hubungan
bilateral Indonesia dengan Australia. "Kami ambil posisi evaluasi, dubes
kami panggil pulang. Kami terus menurunkan hubungan pemerintah dengan
Australia, biar nanti pihak mereka sendiri yang ambil keputusan."
Ini menguatkan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Rajasa bahwa pemerintah sedang mengevaluasi hubungan kerja sama ekonomi
dengan Australia. "Tapi kita tunggu, saya akan rapat dengan presiden."
Pemerintah memang seharusnya membekukan kerja sama ekonomi untuk
sementara waktu, jika ingin menuntut Australia memberikan penjelasan
sekaligus meminta maaf. Ini selagi hubungan kerja sama ekonomi antara
kedua negara belum terlalu besar.
Berdasarkan buku statistik Indonesia 2013 yang dikeluarkan Badan
Pusat Statistik (BPS), Indonesia merupakan negara tujuan ekspor terbesar
ketujuh untuk Australia pada tahun lalu. Sebaliknya, Australia negara
tujuan ekspor terbesar kedelapan untuk Indonesia.
Data lain menunjukkan, total perdagangan barang dan jasa kedua negara
tahun lalu sekitar USD 10 miliar per tahun. Sementara, nilai investasi
yang ditanamkan pengusaha Australia di Indonesia pada periode yang sama
mencapai USD 6,8 miliar.