Oct 17, 2013

Indonesia–Malaysia Bersaing jadi raja sawit dunia


Tidak dipungkiri, Indonesia mengandalkan komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) sebagai produk andalan ekspor yang bisa bersaing di pasar internasional. Wajar jika pemerintah ngotot meyakinkan dunia internasional bahwa CPO Indonesia ramah lingkungan.
Namun, segala daya upaya yang dilakukan pemerintah belum membuahkan hasil. CPO Indonesia tetap ditolak masuk dalam daftar produk ramah lingkungan yang bebas bea masuk. Padahal, pemerintah sesumbar Indonesia bisa menjadi pemain utama sekaligus raja dalam perdagangan kelapa sawit dunia. Produksi kelapa sawit Indonesia saat ini tercatat mencapai 26 juta ton per tahun.
Dengan bangganya Menko Perekonomian Hatta Rajasa menyebut angka produksi sawit Indonesia telah mengalahkan Malaysia yang hanya 17 juta ton per tahun. Dalam persaingan untuk menjadi raja kelapa sawit dunia, Indonesia selalu dibayangi Malaysia.
"Kita produksinya 26 juta ton, Malaysia cuma 16-17 juta ton. Kita akan menjadi price leader kita akan menjadi pemain utama mempengaruhi harga," kata Hatta di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (16/10).
Menurut Hatta, potensi produksi kelapa sawit Indonesia ke depannya akan mencapai 50 juta ton per tahun. Bukan tidak mungkin Indonesia menjadi penguasa pasar.
Untuk menjadi penguasa sekaligus raja dalam bisnis kelapa sawit dunia, Indonesia harus bersaing dengan negara tetangga Malaysia yang juga memiliki catatan positif terkait produksi kelapa sawit. Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara pengekspor CPO terbesar di dunia. Hasil riset Rabobank beberapa waktu lalu menyebutkan, Indonesia dan Malaysia masih mendominasi produksi minyak sawit dunia dengan kontribusi 85 persen dari seluruh pasokan yang jadi kebutuhan dunia. Indonesia sendiri mengkontribusikan 48 persen dari total volume produksi minyak sawit dunia sedangkan Malaysia sebesar 37 persen.
Persaingan antara Indonesia-Malaysia untuk menjadi raja minyak sawit, bisa dikatakan sangat ketat. Dimulai dari produksi CPO. Dari riset Rabobank, produksi dan ekspor sawit Indonesia telah melampaui Malaysia sejak beberapa tahun terakhir. Indonesia kini jadi sebagai produsen dan eksportir sawit terbesar dunia.
Menurut studi itu, perbedaan pertumbuhan produksi sawit Malaysia dan Indonesia dipengaruhi tingkat ketersediaan lahan, perkembangan industri minyak sawit, hingga penggunaan lahan di kedua negara.
Lebih dari 96 persen produksi CPO Indonesia disumbang dari Sumatera sebesar 78 persen dan Kalimantan 18 persen. Sulawesi menyumbang 2-3 persen dan sisanya sumbangan dari Papua dan Jawa.
Kalah dalam hal produksi, Malaysia mencoba cara lain dalam persaingan dengan Indonesia. Di tengah merosotnya harga minyak sawit dunia, Oktober 2012 lalu Malaysia menurunkan bea keluar CPO menjadi 8 persen. Tujuannya agar pengusaha sawit makin bergairah mengekspor hasil produksinya di pasar internasional. Tentui saja kondisi ini membuat pemerintah dan sektor swasta Tanah Air kelabakan.
Penurunan bea keluar membuat produk CPO Negeri Jiran lebih murah di pasaran dunia. Kebijakan itu diambil karena sejak triwulan II tahun ini, harga sawit terjun bebas dan mengancam pendapatan petani dan industri.
Pemerintah merasa dikibuli lantaran kedua negara sempat membahas pengurangan volume ekspor CPO sebagai strategi merespon turunnya harga. November lalu, Kemendag sempat berniat menurunkan bea keluar CPO menjadi 9 persen, dari yang ditetapkan 13,5 persen, meniru langkah Malaysia. Ternyata kebijakan tersebut belum final.
Saat itu, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan berkukuh tak mau mengekor langkah Malaysia. Alasannya, pemerintah konsisten dengan kebijakan hilirisasi di dalam negeri.
Belakangan ini, produk unggulan Indonesia itu kembali dihantam isu miring. Pemerintah mengakui ada sentimen negatif dan kampanye hitam di pasar internasional yang membuat komoditas Indonesia dijauhi konsumen dari negara lain. Kondisi ini makin memperparah kondisi sebelumnya di mana harga minyak sawit masih terpuruk.
Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Derom Bangun melihat, turunnya harga sawit lantaran adanya sentimen luar negeri yang selalu menyebut stok sawit Indonesia dalam jumlah banyak sehingga menurunkan harga.
"Sentimen luar mengenai stok. Kita tidak punya data statistik. Tahun lalu mereka bilang stok kita 5 juta ton. Kita hanya mampu 1,5 juta ton itu di pelabuhan. Kita mendorong pemerintah biodiesel agar distribusi di luar pulau Jawa bisa cepat serta memperbaiki sentimen pasar," tutupnya.


EmoticonEmoticon