Itulah yang terjadi pada Kamis(11/04/2013) dari pengamatan Dot info di Pengadilan Negeri Tokyo khususnya sidang perdata dengan kasus kebangkrutan, tidak bisa kembalikan uang kartu kredit, dan kasus perdata lain.
Seorang pengacara profesional yang ditemui, K Ishii mengatakan kepada Dot info "Pengadilan di Jepang cepat karena sudah tersistem dengan baik, tertata dengan baik. Semua jelas, jadi semua pihak bisa berjalan dengan baik dan lancar," paparnya.
Pengadilan dibuka tepat waktu sekitar pukul sebelas pagi. Saat masuk semua pihak absensi dulu sesuai kasus yang akan dijalankan saat itu. Ada kertas draft agak kecoklatan ukuran A5 bertuliskan nama terdakwa dan pengacaranya, kasus nomor berapa, dan tempat cong-cong kotak kecil untuk memberikan tanda V tanda hadir pada sebelah kiri nama pelaku yang hadir.
Saat absensi menggunakan pensil. Penggunaan pensil semua sehingga mudah dihapus kalau salah, dan diperbaiki, kata Ishii lagi.
Setelah waktu tiba, tepat jam 11, satu persatu nama terdakwa dipanggil dan duduk di blok yang telah ditentukan, "Silakan duduk di sana," perintah pihak pengadilan.
Kasus perdata seharusnya dalam satu ruangan tersendiri, tapi tampaknya kekurangan dana anggaran Pengadilan menjadikan satu ruangan dan memecah lima blok bangku meja agar cepat proses pengadilan. Dipimpin seorang administratif pengadilan sebagai wakil hakim, membacakan surat keputusan hakim. Didengarkan oleh terdakwa dan penggugat serta wakil pengadilan.
Setelah dipanggil nama terdakwa dan disuruh duduk di blok nomor sekian, proses pengadilan segera dimulai. Berbagai info disebutkan dan akhirnya keputusan dibacakan. Ada komentar? Tanya wakil hakim tersebut. Tidak ada masalah, tak ada komentar, pengadilan selesai dengan smooth dan keterangan administrasi disampaikan. Misalnya, kalau ada info tambahan, maka tanggal sekian bisa didaftarkan lagi untuk dibuatkan jadwal pengadilan kembali.
Biasanya itu tidak terjadi, artinya sekali pengadilan dilakukan, ya selesai sudah. Biaya pengadilan sekitar 8.000 yen atau sekitar Rp 780 ribu (kurs Rp 97 per yen). Rincian angka untuk kasus perdata diberikan pengadilan, semua selesai.
Mengapa hanya sekali selesai? Karena sebelum pengadilan dilaksanakan semua sudah dilakukan proses tanya jawab antar pihak terdakwa diwakili Pengacara dan pihak penggugat, di luar pengadilan.
Sampai semua hal clear tak ada pertanyaan lagi, lalu diputuskan jadwal pengadilan, sehingga saat pengadilan dilaksanakan sebenarnya kira-kira 99 persen sudah beres semua.
Inilah cara Jepang. Penyelesaian sampai beres sebelum pengadilan dilaksanakan. Semua pihak saling tanya jawab, lalu dipertimbangkan penggugat, hasilnya di pengadilan, lalu keputusan dibacakan wakil hakim.
Pemunculan hakim biasanya hanya pada kasus besar dan bahkan bisa berkepanjangan apabila sudah menyangkut politik dan kriminal pembunuhan. Tetapi kasus-kasus kecil perdata umumnya Hakim utama tak muncul tetapi diwakilkan sudah cukup.
Begitu praktis, cepat, profesional dan efisien sekali cara kerja pengadilan di Jepang. Tidak bertele-tele, tidak berkepanjangan, semua hitung-hitungan soal angka untung rugi khususnya demi kepentingan umum masyarakat dan tentu saja demi keadilan. Sifatnya mendidik, menyadarkan, supaya kita kembali benar tak melakukan lagi, dan bukan menghukum tampaknya. Itulah tampaknya filosofi pengadilan di Jepang.
Kalangan hakim pun tampaknya dijauhkan dari kontaminasi. Orang biasa apalagi yang terkait tersangka atau terdakwa kasus yang ditangani, biasanya tak bisa menjumpainya. Pengacaranya saja dengan susah payah, barulah kalau memang sangat penting sekali, bisa menemui hakim. Semua ini membuat steril pihak pengambil keputusan sehingga bisa adil, jujur dan menguntungkan bagi masyarakat bagi banyak orang.
Korupsi? Terima uang dari penggugat? Rasanya mustahil, kecuali kalau dia memang mau masuk penjara, nekad melakukan demikian, sudah sakit jiwa, ya mungkin saja.
Kebalikannya, koran Evening Post, Volume LXXXV, Issue 92, 19 April 1913, halaman 13 menuliskan berita hakim Jepang, M. Nakamura, Hakim Pengadilan Tinggi Taiku (Korea, saat itu masih dijajah Jepang), bunuh diri tanggal 28 Desember 1912 karena merasa malu anak buahnya korupsi. Dia bunuh diri, harakiri, di muka foto Kaisar (Tenno) Meiji.
Lalu Mei 2008, hakim perfektur (provinsi) Yoshiharu Shimoyama, ditangkap polisi karena menguntit dan melecehkan karyawan wanita yang kerja di pengadilan.
Jadi memang pengadilan Jepang benar-benar sih dari tangan korupsi. Mengapa? Hukumnya sangat ketat sekali. Penerima dan pemberi uang korupsi sudah pasti masuk penjara. Hukumannya berat bukan main. Hal lain, nama baik teramat tinggi dijunjung di Jepang. Gara-gara nama baik hilang atau hanya digunjingkan, dipertanyakan banyak orang, seseorang bisa bunuh diri. Itulah kebiasaan di Jepang. Rasa malu sangat tinggi dibayar nyawa.
Alasan lain, gaji hakim atau penegak hukum sudah sangat tinggi. Mau nyogok berapa tergugat kepada hakim? Apakah berarti, apakah ada untungnya, belum lagi resikonya yang berat. Sama sekali tak akan berfungsi di Jepang soal menyogok hakim, walaupun mungkin ada kasus demikian di masa lalu. Atau ada keterlibatan Yakuza? Tak ada yang tahu.
Dengan proses yang sangat profesional pengadilan di Jepang, mungkin kita semua juga memimpikan hal serupa di Indonesia. Waktu sangat berharga sekali di Jepang. Proses yang cepat dan bersih memang kita impikan di tanah air tercinta. Pastilah kita capai hal itu di masa depan, asalkan ada kemauan atau niat kuat kita semua orang untuk bersatu menciptakan hal tersebut.
Info lengkap yakuza baca di www.yakuza.in
EmoticonEmoticon