AYAH
Karya Mirza Diani Amalia
Aku benci kepadanya. Bnar-benar
benci. Laki-laki paruh baya itu, yang seharusnya amat kucintai, satu-satunya
orang yang kumiliki setelah Ibu pergi, malah ku benci mati-matian.
Setiap hari, aku selalu pulang lewat tengah malam. Bagiku, berada dirumah itu bagaikan di Neraka. Satu alasan, karena dirumah ada orang itu.Setiap ia memergokiku pulang larut malam, Ia langsung memarahiku habis-habisan, mengomel panjang lebar. tentang ini lah, itu lah. Yang ia tak tahu, Ucapan panjang lebarnya itu sia-sia. Membuang tenaganya saja, karena toh aku sama sekali tak menghiraukannya, menutup kupingku rapat-rapat, seolah tak ada yang berbicara kepadaku.
Entah apa yang merasuki diriku, hingga aku benar-benar membencinya. Dia Ayahku! Ayah kandungku! tapi apa pantas ia ku panggil Ayah? Dia membuangku dan Ibu, sementara ia menikah lagi dengan wanita lain, yang lebih muda dan cantik daripada Ibu. Lalu tiba-tiba ia kembali lagi dalam kehidupan kami setelah wanita itu pergi meninggalkannya. Apa pantas laki-laki tak bertanggung jawab ini ku panggil ayah?! Kemana saja ia seelama ini?! Aku dan Ibu, bersusah payah hidup melarat di jalanan, tanpa sepeser pun uang. Sebungkus nasi untuk makan pun kami sudah sangat bersyukur.
Setiap hari, aku selalu pulang lewat tengah malam. Bagiku, berada dirumah itu bagaikan di Neraka. Satu alasan, karena dirumah ada orang itu.Setiap ia memergokiku pulang larut malam, Ia langsung memarahiku habis-habisan, mengomel panjang lebar. tentang ini lah, itu lah. Yang ia tak tahu, Ucapan panjang lebarnya itu sia-sia. Membuang tenaganya saja, karena toh aku sama sekali tak menghiraukannya, menutup kupingku rapat-rapat, seolah tak ada yang berbicara kepadaku.
Entah apa yang merasuki diriku, hingga aku benar-benar membencinya. Dia Ayahku! Ayah kandungku! tapi apa pantas ia ku panggil Ayah? Dia membuangku dan Ibu, sementara ia menikah lagi dengan wanita lain, yang lebih muda dan cantik daripada Ibu. Lalu tiba-tiba ia kembali lagi dalam kehidupan kami setelah wanita itu pergi meninggalkannya. Apa pantas laki-laki tak bertanggung jawab ini ku panggil ayah?! Kemana saja ia seelama ini?! Aku dan Ibu, bersusah payah hidup melarat di jalanan, tanpa sepeser pun uang. Sebungkus nasi untuk makan pun kami sudah sangat bersyukur.
Ayah macam apa, yang membiarkan
anaknya, memeras keringat dibawah terik matahari, membiarkan anaknya bertaruh
nyawa di tengah jalanan yang penuh mobil-mobil berseliweran, sementara dirinya
enak-enakan. Duduk manis, bersantai di rumah mewah bersama wanita yang tak tahu
diri itu tanpa memikirkan sedikitpun kondisiku dan Ibu. Kutanya sekali lagi,
apa itu pantas disebut ayah?!
Puncak kebencianku padanya, pada suatu waktu, saat aku mencoba melunakkan hatiku untuk ikut makan malam bersamanya. Ia mengajakku berbicara tentang masa depanku. Bulan depan aku lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia memaksaku mengambil jurusan Ekonomi manajemen untuk meneruskan bisnisnya. Tapi ia tak pernah tahu, kalau sejak kecil aku ingin sekali menjadi seniman. lantas, aku menolak iddenya dan mengatakan pendapatku untuk mengambil jurusan kesenian. Tapii apa yang ia perbuat?! Malah memarahiku habis-habisan, menghina pendapatku, mencaci impianku sejak kecil itu, mengatakan kalau aku benar-benar sinting dan bodoh bila masuk ke fakultas kesenian.
Kukatakan kepadanya setengah membentak, "Aku sudah besar! Aku bisa menentukan kehidupanku sendiri! Ini hidupku, hakku pribadi untuk menentukan kemana aku akan melangkah selanjutnya! Aku bukan robot yang bisa kau perintah kesana kemari!"
Mendengar aku tetap kekeh pada pendirianku, ia malah mengancam tak mau membiayai kuliahku. Tantangan yang ia beriak pun kujawab dengan aksiku minggat dari rumah.
Hidupku kembali seperti dulu, sendirian. berjuang sendiri demi hidupku, bebas, bebas menggapai semua impianku yang sejak dulu ingin kucapai. sampai akhirnya 2 tahun berlalu. Tiba-tiba, ia datang dan berdiri di depan pintu kost ku.
Penampilan laki-laki itu jauh berbeda dari 2 tahun yang lalu. Matanya cekung karena kurang tidur, badannya kurus dan mulai mengeriput, dan... dimana wajah angkuh nan sombong yang biasa ia tampilkan itu? Hanya ekspresi sendu yang dapat kulihat dari wajahnya saat itu. Tapii rasa kesal dan amarahku masih amat besar terhadapnya. Langsung ku usir dia dari rumahku. ternyata sifat keras kepalanya sama sekali tak berubah. Ia tetap berdiri disana, tak bergeming sedikitpun. Kesalku bertambah, kudorong badannya menjauhi pintu lalu aku pergi menjauh. Ya tuhan, betapa keras kepalanya ayahku ini. Dengan fisik rentanya ia masih mencoba mengejarku. Aku terpaksa mempercepat langkahku, berlari menyebrangi jalan raya yang tepat berada di depan kost-ku.
Yang aku tak tahu, saat itu sebuah mobil box melaju kencang ke arahku. Saat aku menyadarinya, aku hanya pasrah dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
* * *
Saat aku membuka mata, kukira aku telh terbang menuju alam lain sana, tetapi tidak. Nyatanya aku masih terduduk di pinggir trotoar, sementara warga semakin ramai berkerumun di depanku. Rasa penasaran membuatu bangkit dan melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pandanganku, laki-laki itu terkapar, bersimbah darah. Tak terasa air mataku menggenang, bahuku mulai berguncang keras. Entah mengapa tangisku mengalir deras tanpa bisa ditahan. Rasa takut kehilangan menjalari seluruh ragaku. Untuk pertama kalinya, aku menyadari, aku menyayangi Ayahku.
* * *
Pendarahan otak yang dialami ayahku gara-gara kecelakaan itu terlalu parah. Nyawanya tak bisa diselamatkan. Sebagai anak satu-satunya, jelaslah kalau hanya aku yang bisa meneruskan bisnis ayahku ini. 2 hari setelah kematian ayah, aku langsung pergi ke kantor. Mengurus semua keperluan yang kubutuhkan untuk menggantikan ayahku di perusahaan. Aku masuk ke dalam ruangan kerja ayahku untuk membereskan barang-barang peninggalannya. dan aku menemukan sebuah surat lusuh yang menarik perhatian ku dalam laci mejanya. Kubaca surat itu perlahan. Napasku tertahan membaca setiap kalimat dalam surat itu.
......Anakku tersayang.. Langit Ramadhan. Dimana kamu sekarang? Ayah kangen sama kamu. Apa kamu masih ingat sama ayah? Pasti kamu sudah besar sekarang. Maafin ayah, nak. Maafin ayah. Ayah pergi meninggalkanmu dan ibumu. ayah menterlantarkanmu. Maafin ayah. Ayah nggak bisa menemani kamu tumbuh dewasa. Ayah nggak pernah memberimu semangat saat kamu bertanding bola dengan teman-temanmu. Ayah juga nggak pernah menemani kamu bermain, Ayah nggak pernah melakukan apa yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya. ayah minta maaf, nak. Ayah benar-benar minta maaf. Meninggalkanmu dan Ibu, adalah kesalahan terbesar yang pernah ayah buat. maafin Ayah...
Bercak tetesan air mata ayah masih tercetak jelas diatas kertas itu. Membuatku menyadari kesalahan terbesarku. Membenci Ayahku, seseorang yang dulu sangat kurindukan kehadirannya. kunantikan kasih sayang serta pelukannya. Kini semua telah terlambat. Aku benar-benar terlambat menyadarinya, bahwa sebenarnya aku sayang ayahku, bahwa sebenarnya aku butuh perhatian dan kasih sayangnya, seperti anak-anak lainnya. Lantas aku mengutuki diriku. Tuhan, mengapa penyesalan selalu datang terlambat?
Puncak kebencianku padanya, pada suatu waktu, saat aku mencoba melunakkan hatiku untuk ikut makan malam bersamanya. Ia mengajakku berbicara tentang masa depanku. Bulan depan aku lulus SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi. Dia memaksaku mengambil jurusan Ekonomi manajemen untuk meneruskan bisnisnya. Tapi ia tak pernah tahu, kalau sejak kecil aku ingin sekali menjadi seniman. lantas, aku menolak iddenya dan mengatakan pendapatku untuk mengambil jurusan kesenian. Tapii apa yang ia perbuat?! Malah memarahiku habis-habisan, menghina pendapatku, mencaci impianku sejak kecil itu, mengatakan kalau aku benar-benar sinting dan bodoh bila masuk ke fakultas kesenian.
Kukatakan kepadanya setengah membentak, "Aku sudah besar! Aku bisa menentukan kehidupanku sendiri! Ini hidupku, hakku pribadi untuk menentukan kemana aku akan melangkah selanjutnya! Aku bukan robot yang bisa kau perintah kesana kemari!"
Mendengar aku tetap kekeh pada pendirianku, ia malah mengancam tak mau membiayai kuliahku. Tantangan yang ia beriak pun kujawab dengan aksiku minggat dari rumah.
Hidupku kembali seperti dulu, sendirian. berjuang sendiri demi hidupku, bebas, bebas menggapai semua impianku yang sejak dulu ingin kucapai. sampai akhirnya 2 tahun berlalu. Tiba-tiba, ia datang dan berdiri di depan pintu kost ku.
Penampilan laki-laki itu jauh berbeda dari 2 tahun yang lalu. Matanya cekung karena kurang tidur, badannya kurus dan mulai mengeriput, dan... dimana wajah angkuh nan sombong yang biasa ia tampilkan itu? Hanya ekspresi sendu yang dapat kulihat dari wajahnya saat itu. Tapii rasa kesal dan amarahku masih amat besar terhadapnya. Langsung ku usir dia dari rumahku. ternyata sifat keras kepalanya sama sekali tak berubah. Ia tetap berdiri disana, tak bergeming sedikitpun. Kesalku bertambah, kudorong badannya menjauhi pintu lalu aku pergi menjauh. Ya tuhan, betapa keras kepalanya ayahku ini. Dengan fisik rentanya ia masih mencoba mengejarku. Aku terpaksa mempercepat langkahku, berlari menyebrangi jalan raya yang tepat berada di depan kost-ku.
Yang aku tak tahu, saat itu sebuah mobil box melaju kencang ke arahku. Saat aku menyadarinya, aku hanya pasrah dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
* * *
Saat aku membuka mata, kukira aku telh terbang menuju alam lain sana, tetapi tidak. Nyatanya aku masih terduduk di pinggir trotoar, sementara warga semakin ramai berkerumun di depanku. Rasa penasaran membuatu bangkit dan melihat apa yang telah terjadi.
Dalam pandanganku, laki-laki itu terkapar, bersimbah darah. Tak terasa air mataku menggenang, bahuku mulai berguncang keras. Entah mengapa tangisku mengalir deras tanpa bisa ditahan. Rasa takut kehilangan menjalari seluruh ragaku. Untuk pertama kalinya, aku menyadari, aku menyayangi Ayahku.
* * *
Pendarahan otak yang dialami ayahku gara-gara kecelakaan itu terlalu parah. Nyawanya tak bisa diselamatkan. Sebagai anak satu-satunya, jelaslah kalau hanya aku yang bisa meneruskan bisnis ayahku ini. 2 hari setelah kematian ayah, aku langsung pergi ke kantor. Mengurus semua keperluan yang kubutuhkan untuk menggantikan ayahku di perusahaan. Aku masuk ke dalam ruangan kerja ayahku untuk membereskan barang-barang peninggalannya. dan aku menemukan sebuah surat lusuh yang menarik perhatian ku dalam laci mejanya. Kubaca surat itu perlahan. Napasku tertahan membaca setiap kalimat dalam surat itu.
......Anakku tersayang.. Langit Ramadhan. Dimana kamu sekarang? Ayah kangen sama kamu. Apa kamu masih ingat sama ayah? Pasti kamu sudah besar sekarang. Maafin ayah, nak. Maafin ayah. Ayah pergi meninggalkanmu dan ibumu. ayah menterlantarkanmu. Maafin ayah. Ayah nggak bisa menemani kamu tumbuh dewasa. Ayah nggak pernah memberimu semangat saat kamu bertanding bola dengan teman-temanmu. Ayah juga nggak pernah menemani kamu bermain, Ayah nggak pernah melakukan apa yang dilakukan seorang ayah kepada anaknya. ayah minta maaf, nak. Ayah benar-benar minta maaf. Meninggalkanmu dan Ibu, adalah kesalahan terbesar yang pernah ayah buat. maafin Ayah...
Bercak tetesan air mata ayah masih tercetak jelas diatas kertas itu. Membuatku menyadari kesalahan terbesarku. Membenci Ayahku, seseorang yang dulu sangat kurindukan kehadirannya. kunantikan kasih sayang serta pelukannya. Kini semua telah terlambat. Aku benar-benar terlambat menyadarinya, bahwa sebenarnya aku sayang ayahku, bahwa sebenarnya aku butuh perhatian dan kasih sayangnya, seperti anak-anak lainnya. Lantas aku mengutuki diriku. Tuhan, mengapa penyesalan selalu datang terlambat?
Thank’s to
Mirza
Diani Amalia,
lahir di Jakarta, bulan Agustus 16 tahun lalu.
EmoticonEmoticon