Karya Ernita Lusiana
“Dasar berandal kecil”, umpatnya
pada adik kecilku. Dia yang sejak tadi duduk di singgasananya, bangkit
menghampiri adik ku. Tangannya terulur perlahan menyentuh luka lebam yang
tercetak jelas pada wajah adikku. Setelah meneliti dengan seksama, dia
menghempaskan wajah adikku kasar sambil mencibirnya.
“Bisakah kau menjadi anak yang baik, kau hanya bisa menyusahkan”, kata-katanya masih terdengar jelas walau dia telah menjauh dari kami.
“Bisakah kau menjadi anak yang baik, kau hanya bisa menyusahkan”, kata-katanya masih terdengar jelas walau dia telah menjauh dari kami.
Kudekatkan tubuhku pada adikku yang hanya diam mematung, kupeluk tubuh kecilnnya. dia tak marah ataupun menangis. Ini semua membuatku muak. Kuusap rambutnya pelan. Meredamkan sedikit emosi yang bahkan tak dapat dia tunjukkan.
“Bisakah kau tidak berbuat ulah, Hah?! Kau ini memang berandal”. Bentaknya diiringi tamparan pada pipi adikku yang lebam. Luka lebam semakin banyak pada wajahnya. Ku rasa hari ini dia berkelahi lagi.
“Bisakah tidak berkelahi”, tanyaku saat mengobati wajah yang penuh lebam itu. Dia menyingkirkan tanganku kemudian beranjak pergi dari ruang tengah menuju kamarnya.
Braaakk. Dia membanting kamarnya. Sudah sepekan ini dia selalu pulang dengan luka lebam. Aku tak tau kapan tepatnya, tapi adikku menjadi orang yang tak pernah bicara sejak saat itu.
***
“Dasar pembenuh, kau pembunuh, kau
seorang pembunuh”. Aku hanya memeluk adikku yang terisak hebat saat itu.
Seorang bocah berusia lima tahun yang dituding sebagai seorang pembunuh. Aku
pun tak dapat menyembunyikan rasa sedihku. Tapi ini bukan salah adikku.
“Kenapa tidak kau saja yang mati”. Ayah menyeret adikku kasar. Melepaskannya dari pelukanku. Memukul dan mencacinya. “Bahkan kau hanya anak haram”, teriaknya yang diiringi tangis dari adikku yang tidak tau apa-apa. Ini takdir, ibuku meinggal karena menyelamatkan adikku. Ini bukan salahnya. Ayah sering menyebut dia anak haram. Bahkan jauh sebelum hari ini, ayah membencinya.
Terlalu mencintai ibu, ayahku bahkan menerima kala dia membawa anak hasil hubungan gelapnya denga laki-laki lain. tapi dia tak pernah bersikap baik pada adikku.
Kami terbilang keluarga yang cukup berada. Tinggal di kota dan dekat dengan keramaian. Adikku bermain terlalu jauh, dia bahkan keluar pagar dan menuju arah jalan raya mengambil mobil-mobil an yang memakai remot kontrol. Mobil kecil itu berbaur dengan mobil sungguhan yang melintas dengan kencang di jalan. Fokus hanya pada mobil kecilnya. Mobil sungguhan itu melaju kencang, seperti baru belajar naik mobil. Supir itu tidak bisa mengendalikan mobil dengan baik. Ibu yang melihat kejadian itu. Dengan cepat mendorong adikku ke trotor dan dengan cepat mobil itu menghempaskan tubuh ibuku.
Hanya luka lecet yang didapatkan adikku. Tapi ibuku dia mengalami pendarahan hebat, dan meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
***
Lagi-lagi terdengar suara teriakan dan makian. Aku yakin itu suara ayah yang sedang memarahi adikku. Aku seperti sebuah patung, yang hanya bisa diam tanpa melakukan apapun. Aku bukan kakak yang baik untuk adikku. Bahkan aku tak bisa membelanya.
Aku muak dengan semua yang dilakukan ayahku. Dia menjadi berbeda semenjak ibu pergi. Walau dia tak pernah memarahiku. Tapi dia jarang bicara padaku, hanya seperlunya.
“Bisakah ayah menerima Nino”, kataku memberanikan diri. “Kau tak perlu ikut campur, urus saja sekolah mu”, jawab ayah sambil beranjak meninggalkanku. “Ayah”, kataku menahan tangannya. “Bisakah ayah bersikap baik padanya”. Ayah mengerutkan keningnya. “Diam dan jangan terus membelanya”, bentak ayah sambil melepas tanganku kasar.
Aku merasa tak punya keluarga. Hidup seperti ini bertahun-tahun. Ini menyiksa. Bahkan kadang aku takut saat melihat adikku. Anak sepuluh tahun yang tidak pernah bicara, marah ataupun menangis.
“Hei, anak haram, bagaimana kabar ayahmu yang gila itu. Apa dia masih menyiksamu”. Tawa anak-anak itu menyeruak begitu saja. “Anak haram punya ayah gila”. Ejekan-ejekan pada anak kecil itu. Tangannya mengepal menahan emosi yang sudah memuncak. “Aku bukan anak haram dan ayahku tidak gila”. “Jangan pernah kau sebut ayahku gila atau aku memukulmu” bentak anak kecil itu yang kemudian melayangkan pukulannya pada anak-anak yang sejak tadi mengejeknya. Perkelahian itu terjadi, anak kecil itu kalah karena dia hanya sendiri. Dia hanya memegang luka yang terlukis jelas diwajahnya tanpa menangis.
Pikiranku masih terbayang dengan kejadian tempo hari pada adikku. Aku sengaja mengikutinya karena aku ingin tau mengapa dia selalu mendapat luka ketika dia pulang. Itu alasannya. Dia membela ayah yang selalu memukul dan mencacinya. Aku merutuki diriku sendiri, aku bahkan tidak bisa membela adikku sendiri. Tapi dia membela ayah yang selama ini membencinya.
Usahaku tak pernah berhasil, ayah tak pernah mau mendengarkanku. Dia kekeh membenci adikku.
Aku sudah cukup dewasa untuk menentukan nasib keluargaku. Dua hari yang lalu ayahku over dosis obat tidur. Kata dokter jiwa ayahku sedikit terganggu. Dokter memintaku untuk menjaganya dengan baik.
***
Aku dan adikku bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Adikku tak lagi seperti dulu. Kini dia sudah mulai mau untuk bicara walau tak banyak. Teriakan, tawa, tangis mengiringi kami ke ruangan yang sering kami kunjungi. Orang itu hanya duduk diam di tepi tempat tidurnya. Sesekali dia tersenyum. Seorang wanita disampingnya tiba-tiba menjambak rambut orang itu. Dia berteriak dan melawan. Para suster itu membawa kedua orang itu dalam ruangan. “maaf sebaiknya kembalilah besok”, kata dokter.
Saat dokter memintaku merawat ayah dengan baik. Aku meminta dokter untuk merujuk ayah ke rumah sakit jiwa. Aku menceritakan semua dan dokter menerimanya. Aku bukan tak mau menjaga ayahku, aku sangat menyayanginya. Tapi aku rasa ini keputusan yang harus ku ambil. Aku juga ingin melindungi dan menjaga adikku.
“terimakasih telah menjagaku kak”, kata adikku yang kubalas dengan senyuman kebahagiaan. Mulai saat ini aku akan menjadi orang yang bisa melindungi keluargaku. Melindungi orang yang selalu memberi kebahagiaan kepadaku.
End
EmoticonEmoticon